Syarifuddin Litiloly, SAP,MAP | |
Written By :Syarifuddin Litiloly
Kekuasaan jika hanya dilihat dari kacamata hasrat atau syahwat
politik, akan nampak menjelma menjadi sesuatu yang menggiurkan, memesonakan, hingga akhirnya membuat orang terlena. Ketika
memandang sebuah
kekuasaan melalui
hasrat dan bukannya hati nurani, syahwat dan bukannya akal sehat, maka yang tampak dalam sosok sebuah
kekuasaan adalah
kesenangan, keindahan, kelezatan dan kenikmatan. Pada tahap ini kekuasaan
benar-benar menjadi candu yang mudah membuat penyandangnya lupa diri dan lupa
daratan.
Ketika kesadarannya sudah terbius oleh candu
kekuasaan itu, pandangan seseorang akhirnya menjadi buram, tidak bisa membedakan secara jernih antara
baik-buruk, kawan-lawan, kebenaran-kesalahan, kelurusan-kesesatan.Semuanya
berjalan bukan di atas dasar nilai etis dan moral, melainkan gairah hedonis.
Ruang politik yang lebih diwarnai oleh gairah hasrat, ambisi dan nafsu hedonisme tersebut merupakan cermin terjadinya relasi antara kekuasaan dan kesenangan. Dalam hubungan ini, kekuasaan adalah tempat tumbuh suburnya nilai-nilai kesenangan dan keterpesonaan. Seperti yang ditegaskan oleh Michael Foucault dalam salah satu bukunya yang berjudul The History Of Sexuality (1984).
Ruang politik yang lebih diwarnai oleh gairah hasrat, ambisi dan nafsu hedonisme tersebut merupakan cermin terjadinya relasi antara kekuasaan dan kesenangan. Dalam hubungan ini, kekuasaan adalah tempat tumbuh suburnya nilai-nilai kesenangan dan keterpesonaan. Seperti yang ditegaskan oleh Michael Foucault dalam salah satu bukunya yang berjudul The History Of Sexuality (1984).
“kekuasaan beroperasi sebagai satu mekanisme daya tarik ; ia mencari keganjilan dan abnormalitas”.~Foucault~
Kesenangan menyebar luas dan menggoda kekuasaan yang mengusiknya, kekuasaan menambatkan kesenangan yang ditemuinya. Ketika para elit politik yang sekarang tengah membangun koalisi atas dasar ambisi dan hasrat pragmatis belaka, maka secara implisit mereka telah berada dalam jaringan kekuasaan yang berorientasi pada pencapaian-pencapaian kesenangan dan kepentingan sesaat.
Mereka membangun koalisi karena lebih terpengaruh oleh godaan-godaan nafsu kekuasaan yang dalam fantasi mereka terasa lebih nikmat, lebih lezat dan menyenangkan.
Beberapa elemen yang menjadi simbol kesenangan sehingga menjadikan para politikus yang haus kekuasaan mabuk kepayang untuk bisa menduduki singgasana kekuasaan, adalah fasilitas-fasilitas mewah dan pelayanan (service) yang serba ‘wah’ dari negara.
Mobil mewah, gaji tinggi, tunjangan beraneka warna, plesir ke luar negeri dan sejenisnya adalah simbol-simbol kesenangan materialisme yang membuat para elit mabuk kekuasaan. Para elit nampak telah dikendalikan oleh hasrat hedonisme, materialisme dan konsumerismenya. Kekuasaan yang mengatur mereka.Mereka sangat berhasrat berkuasa hanya karena terdorong oleh nafsunya untuk mendapatkan segala macam fasilitas dan pelayanan yang menggiurkan tersebut. Apalagi ditambah dengan banyaknya kesempatan untuk menilap uang negara, menyalahgunakan wewenang, memperbanyak simpanan dan sebagainya, tentu saja ini lebih menggairahkan.
Para politisi yang berpikiran dangkal, hedonis dan borjuis sudah tentu terpesona dengan hal-hal semacam itu. Mereka membayangkan bahwa betapa nikmatnya ketika kekuasaan itu berhasil digenggamnya. Mereka akan bisa membebaaskan nafsu seliar-liarnya untuk mencapai kepuasan diri melalui berbagai bentuk kesenangan tersebut.
Sekarang apa akibat dan konsekuensi dari kuatnya arus ambisi para politisi yang berada dalam jejaring kekuasaan dan kesenangan? Tentu saja matinya esensi politik. Secara esensial politik adalah sistem dan pola hidup kolektif yang mempunyai cita-cita terwujudnya kebahagiaan bersama. Kesejahteraan ekonomi, keadilan politik, stabilitas hukum dan keamanan sosial dan seterusnya adalah cita-cita dan impian-impian seluruh warga negara.Namun semua tujuan dan cita-cita bersama tersebut sekarang menjadi mati karena terbunuh oleh ganasnya ambisi para elit politik. Ketika para elit lebih suka menenggelamkan diri dalam ambisi pribadi dan hasrat pragamatisme, maka nilai-nilai ideal di atas secara eksplisit telah tersingkirkan dari panggung politik.
Nilai-nilai luhur yang menjadi cita-cita bersama itu tergantikan oleh ambisi, hasrat dan syahwat politik jangka pendek dari para politisi. Ketika mereka berkuasa, tujuan yang mereka incar tidak lain adalah kesenangan-kesenangan dangkal dan kepentingan-kepentingan jangka pendek yang lebih bersifat individual dan primordial, bukannya kesejahteraan dan kebahgaiaan bersama untuk seluruh warga masyarakat, terutama untuk masyarakat kecil.
Pola semacam itu, dalam kehidupan negara jelas tidak mencerminkan keadilan. Padahal, keadilan adalah esensi politik yang paling prinsipil. Bahkan Plato meletakkannya sebagai kebajikan tertinggi dari suatu negara (The suprime virtue of the good state).
Ketika elit politik lebih terfokus pada ambisi
pribadi dan melupakan kepentingan bersama, maka saat itu juga sebuah negara dan
sistem politik telah kehilangan makna esensinya dan misi luhurnya.Konsekuensinya,
prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang
terpampang dalam deretan sila-sila Pancasila selamanya hanya akan menjadi
impian.Politisi yang berfikir tentang ambisi, kehormatan dan kekuasaan adalah
parasit yang suatu waktu akan membunuh Partai Politik dimana Politisi seperti
ini bernaung, dan untuk mencegah hal seperti ini adalah tugas dan kewajiban
parpol untuk mencuci otak (Brain Wash) para kadernya untuk lebih berfikir
jernih demi mencapai tujuan dalam kemaslahatan
berbangsa dan bernegara.Ketika
politik dipahami sebagai cara untuk mencapai
tujuan, maka politik itu sejatinya bukanlah sarana ajang tipu daya dan muslihat.
Pekerja politik merupakan pekerjaan yang mulia (Honorable Job), dan Partai politik adalah tempat berkumpulnya
sekelompok orang yang memiliki
aspirasi yang sama, jadi hanyalah kesamaan aspirasi yang dapat mempersatukan mereka, bukan yang lain-lain.
Kemudian mereka mengikuti pemilu agar supaya
bisa menempatkan perwakilan mereka di parlemen, dalam rangka ikut menentukan
arah kehidupan bangsa, paradigma seperti inilah yang seharusnya ada dalam
pemahaman para politisi.
Kang Ugi
0 komentar :
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !