Relief Candi Sukuh yang sarat makna simbolisme |
Dibalik keris terkandung nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan, dan yang harus tidak terbuang oleh hiruk-pikuknya orang mencintai keris (komunitas). Pembacaan nilai-nilai itu telah sangat sering diutarakan dan dituliskan, namun juga sering terlihat bahwa komunitas keris lebih suka mengabaikannya dan lebih suka bergaul dengan trend-trend pada seni bentuk dan senirupanya saja.
Pada saat keris mendapat penghargaan UNESCO, maka semaraklah pendirian paguyuban-paguyuban di seantro Jawa-Bali. Sebagai kekuatan moral bangsa, paguyuban adalah ”pilar-pilar kebudayaan” yang harus dipertahankan, karena selain masih tradisional, wadah seperti ini sangat fleksibel untuk melibatkan berbagai pihak dalam melaksanakan kegiatannya. Maka demi kesinambungan mempertahankan nilai luhur keris harus dimulai dari sini, selain itu dibutuhkan ruang publik yang lebih terbuka seperti dilakukan pula penerbitan-penerbitan buku dan seminar-seminar.
Walau demikian, nilai-nilai luhur keris ini pun sering lepas dan tidak terhayati dengan baik oleh komunitasnya, karena justru essensi traditif dari keris sering terpisah bagai minyak dan air. Keluhurannya terkalahkan oleh berbagai kepentingan, baik itu masalah gengsi, iri hati, perdagangan dan banyak lagi. Jika ditelisik justru di dalam paguyuban terjadilah saling gontok, hasut-menghasut bahkan sering pula terjadi karakter assasination, korbannya justru biasanya aktivis yang lurus dan asset yang sangat berharga sebagai pegiat pelestarian. Primordialisme semacam ini memang wajar karena mayoritas dalam komunitas keris masih terdominasi oleh kalangan tak berpendidikan, atau setidaknya kurang memahami nilai luhur keris oleh sebab keris hanya dipandang sebagai benda asset atau komoditi antik yang menguntungkan. Persaingan dagang dan harga diri sering tak dapat dikendalikan dengan baik. Tak heran jika pada satu kota berdiri 3 – 4 paguyuban akibat gontok-gontokan yang kemudian paguyuban-paguyuban itu juga akhirnya terbenam tanpa kegiatan.
Nilai-nilai yang terkandung dalam keris sangatlah dapat untuk menjadi tuntunan bagi kehidupan. Melalui renstra (rencana kerja strategis) SNKI pada kepimpinan masa mendatang, semoga saja mulai menjamah nilai-nilai keutamaan keris untuk berbudi luhur. Diharapkan ada strategi dan segera dapat disosialisasikan baik kepada anggotanya (intern paguyuban) agar menjadi suri tauladan masyarakat yang melihatnya. Ikut serta ”tutwuri handayani" dan melakukan sesuatu yang memiliki nilai, walau tidak kita sadari. Karena jika hal ini dikaji kemudian dirangkum menjadi semacam sesanti, maka sebagai penggemar keris tentunya dapat memberikan pula sumbangsih kepada negara setidaknya dengan memberikan ketauladanan yang dapat diambil dari nilai luhur keris itu.
Kanjeng Kyahi Gurda karya Toni Junus |
Keris mengandung ajaran dalam simbol-simbol
Keris sebagai sebuah karya merupakan penggambaran dari simbol-simbol yang merupakan kaca benggala pola tatanan hidup dan pemahaman ke-Tuhanan. Bentuk dhapur yang berbagai jenis adalah pengejawantahan pesan tentang apa yang dapat dihayati sebagai hasil dari penghayatan berguru kepada alam, berguru kepada kehidupan dan berguru serta manembah kepada Tuhan. Dhapur atau bentuk keris yang condong (condong leleh) sebagai penggambaran manusia yang membungkukkan badannya - manembah (menyembah kepada Tuhan YME). Bentuk lurus merupakan sebuah tuntunan untuk bertakwa kepada Tuhan serta bentuk berlekuk atau keluk seperti asap dupa yang berkeluk-keluk menuju kearah atas sebagai manifestasi kemanunggalan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Ratusan bentuk dhapur mencerminkan apa yang dapat diharapkan sebagai sebuah keutamaan berbudi luhur, dapur Brojol misalnya, adalah sebuah pengejawantahan keinginan manusia untuk senantiasa dapat lancar (mbrojol) dalam hal menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya. Lalu keris lurus yang dibahasakan dengan sebutan keris berdhapur ”bener” adalah sebuah simbolisasi tantangan untuk dapat mempertimbangkan segala sesuatu yang dialaminya dengan jiwa yang lurus (bener – pener).
Simbolisasi dari jenis dhapur sangatlah panjang jika diuraikan, tetapi ada beberapa pokok yang perlu dipegang antara lain dhapur Pandawa (luk 5) adalah simbol agar senantiasa manusia berwatak ”satria-pinandita” seperti intisari kisah pewayangan pendawa lima yang dihayati sebagai sebuah rangkuman dalam hal kebijaksanaan bertindak. Watak ”satria-pinadita” bisa dibahas sebagai keadaan manusia ”pemimpin” atau sering disebut satriya pinandita sinisih wahyu. Tuntunan untuk menjadi tokoh pemimpin yang amat sangat religius sampai-sampai di dalam kisah-kisah pewayangan digambarkan bagaikan seorang resi begawan (pinandita) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum/petunjuk Gusti Allah (sinisihan wahyu), dengan selalu bersandar hanya kepada kekuasaan Gusti Allah, bangsa ini diharapkan akan mencapai zaman keemasan yang sejati. Maka tak heran pada jaman kerajaan sering seorang raja juga disebut sebagai ”Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng ........, Senopati Ing Ngalogo, Abdurahman Sayidin Panata Gomo, Kalifatulah Ingkang Kaping .........”. Hal ini menunjukan bahwa nilai-nilai kepemimpinan diharapkan dapat selalu dipegang teguh sebagai seorang yang berwatak ’kesatria’ yang pemberani, berani marah, berani menegur, berani merombak , berani menginstrospeksi diri dan berani bertindak serta berjiwa religius.
Simbol-simbol pada dhapur keris selalu menjadi ’pameling’ (pesan agar diingat) yang sangat penting dan perlu dilakukan semacam penyusunan dan pengelompokan atau penulisan kembali agar penggemar keris dapat memanfaatkannya sebagai sebuah ajaran.
Keris sebagai perpaduan material Ibu Bumi Bapa Akasa
Ketika sang empu mewasuh besi (ditempa untuk membersihkan besi) sekian ribu kali pukulan sebagai perlambangan ”tapisan gebagan” membersihkan diri. Manusia senantiasa harus eling dan selalu membersihkan diri untuk berbuat sesuai nurani yang positif. Apa yang disebut hasil bakal keris (kodokan) adalah sebuah pemahaman bahwa manusia diberi wadah dan manusia diberi kesempatan karena memiliki akal pikiran untuk dapat digunakan menuju kepada kesucian dengan perilaku berbudi luhur.
Maka empu kita yang menganut maguru alam (berguru pada alam) selalu melakukan sebuah penyatuan atau dalam bahasa Jawa ’diwor’ – ’dimor’ yang kemudian disebut ’pamor’. Penyatuan dirinya terhadap api, maka sang empu seolah ikut ber-resonansi sebagai api, disinilah terjadi sebuah kekuatan ”Illahi” dimana sang empu menjadi sebuah media Allah. Penyatuan besi (pasir bumi) dengan benda angkasa (iron meteorite) telah dilakukan oleh mereka (para empu) sebagai sebuah perlambangan penyatuan Ibu Bumi dan Bapa Akasa. Dari langit dan dari bumi disatukan dalam tungku api yang dikendalikan oleh energi hasil resonansi penyatuan empu bersama api (kemanunggalan dalam keadaan berKetuhanan). Maka keris sebagai karya adalah merupakan ciptaan Tuhan melalui tangan manusia. Tak heran jika akhirnya diagungkan dan disakralkan. (Dang dahana bagni niraweh sara sudarma).
Prosesi pembuatannya yang selalu menyebutkan mantera berulang-ulang adalah seperti halnya trend pada masa kini aliran ’Gerakan New Age’ yang berkembang pada religius barat yang meniru timur sebagai gerakan spiritual pada paruh kedua abad ke-20. ’Gerakan New Age’ berputar di sekitar "menggambarkan kesahihan spiritual metafisik tradisi di Timur dan kemudian menanamkan segala sesuatu menjadi kekuatan dengan pengaruh dari self-helpseperti halnya pembacaan mantera berulang-ulang, motivasi psikologi, pencapaian kesehatan holistik, parapsikologi, penelitian kesadaran dan hingga pengkajian fisika kuantum". Hal ini bertujuan untuk menciptakan "spiritualitas tanpa batas atau dogma" sehingga dapat berdiri sebagai ajaran yang inklusif dan pluralistik. Serta adanya ciri utama sebagai kesadaran baru yang memegang universalitas "pandangan dunia secara holistik", seperti demikian halnya situasi dan kondisi pada prosesi empu sebagai manusia yang menekankan bahwa Pikiran, Tubuh dan Roh untuk saling berhubungan dalam Kesatuan/Kemanunggalan dan persatuan seluruh alam semesta (manunggaling kawula Gusti). Lebih lanjut sebetulnya apa yang dilakukan empu telah mengangkat harkat manusia sebagai utusan sehingga sebenarnya prosesi yang panjang dalam pembuatan keris itu telah mencakup sejumlah bentuk ilmu pengetahuan dan pseudosains.
Maka dari itu ada sebutan ”Empu adalah pancer atau titik temu kemanunggalan antara yang tinemu ing nalar dan yang tan tinemu ing nalar” artinya bahwa dipercaya atau tidak dunia perkerisan memasuki keadaan penelaahan transcendental antara nalar dan tidak ketemu nalar dengan obyek yang diciptakan oleh utusan itu (empu).
Maka jika keris dianggap sakti, secara turun temurun baik itu melewati periode megalitik, hingga periode agama-agama hingga sekarang, jelas sekali bahwa nilai-nilai luhur pada keris tetap universal dari jaman ke jaman. Hakekat dari apa yang terkandung merupakan makna penyempurnaan dari perjalanan olah spiritual manusia menuju kesempurnaan hidupnya yang tercermin dari kekuatan pembacaan prosesi pembuatan keris tersebut.
Prosesi keris melalui apepayung budi
Menelaah tiga bagian keris (Peksi – Gonjo – Wilah), menjadi sebuah pemahaman simbol dari Yoni sebagai asal muasal atau alam Purwa, dan Gonjo atau Linggam yang melahirkan pemaknaan alam Madya dan selanjutnya menuju ke pucuk bilah sebagai pemaknaan alam Wusana. Yaitu sebagai penghayatan manusia sebelum berwujud, masih dalam alam Purwa, yang perlu di hayati dengan merenungkan dari mana sebenarnya manusia ini berasal, kemudian dalam alam Madya, manusia bergumul dalam kehidupan masa kini yang harus dilalui dengan perenungan dan tindakan dengan segala kawicaksanan (laku bijaksana) dan berbudi, hingga menuju kematian yang sempurna.
Orang Jawa lebih suka menelaah hal ini dengan beberapa anggapan bahwa manusia selayaknya berusaha menghayati semesta beserta isinya. Manusia diberi prabot komplit (lahir dan batin) oleh Tuhan YME dan dimana disadari derajat manusia lebih tinggi dari hewan. Manusia beradab adalah manusia yang berbudaya (culture men). Dalam falsafah Jawa, inti dari peradaban itu secara bertahap dan naluriah digerakkan oleh kemauan manusia (niat) untuk: Titi mangerti pranataning WIJI (mengerti atau berusaha mengerti tentang asal usul manusia), Titi mangerti pranataning DUMADI (mengerti atau berusaha mengerti tatanan yang tergelar pada jagat raya), Titi mangerti pranataning PAMBUDI (mengerti atau berusaha mengerti tatanan hidup yang berbudi), Titi mangerti pranataning PAKARTI (mengerti atau berusaha mengerti tatanan dari pekerti manusia). Kalau sudah mengerti ungkapan-ungkapan tersebut, maka semua yang ada di dunia ini akan menjadi alat manusia (gumelaring jagat dadi pirantining manungso).
Maka prosesi keris dari mulai bahan besi yang diwasuh (dibersihkan dengan tapisan gebagan)kemudian dibentuk sedemikian rupa memuat pesan-pesan yang tak lepas dari nilai-nilai luhur untuk menjadikan kita para penggemar keris, penghayat keris memiliki pegangan yang bukan berasal dari kekuatan Jin, setan atau pengertian yang menyesatkan tetapi merupakan tauhid dari apa yang terkandung secara falsafati.
Dengan demikian memang sangat perlu penghayat keris mulai merangkum nilai-nilai keutamaan untuk pembangunan manusia berbudi luhur dan ikut memantapkan pembangunan karakter bangsa, yang sangat dibutuhkan pada masa kini. Mengingat konstelasi politik yang berkecamuk di negeri ini tampak sekali disebabkan pula oleh karena adanya krisis moral dan hilangnya ajaran atau pameling untuk menuju hidup yang berbudi luhur. (dikutip dari buku Keris Mahakarya Nusantara - SNKI).
sumber : Javakeris.com
0 komentar :
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !